Sabtu, 02 Agustus 2008

Kisah Asal Mula Nama Pisang Klutuk

Rute Ke Wonosobo

Dengan kondisi alam yang sedemikian rupa, satau-satunya jenis angkutan untuk menuju Wonosobo hanyalah angkutan darat. Dahulu pernah ada kereta api jurusan Purwokerto, sekarang hanya tinggal rel-nya. Meskipun demikian, transportasi ke dan dari Wonosobo relatif ramai. Transporatsi dari luar kota dapat anda pilih, bis atau jenis travel. Namun banyak juga yang mencarter taxi dari Semarang atau Yogyakarta.

Dari Semarang (Ibu kota Provinsi)

Di terminal antar kota Terboyo banyak terdapat bis yang melayani trayek Semarang - Purwokerto melalui Wonosobo. Jaraknya sekitar 120 km dan waktu tempuh kira-kira 3.5 jam. Rutenya adalah :

(Semarang-Ungaran-Bawen-Ambarawa) - (Secang-Temanggung-Parakan) - (Kertek-Wonosobo)

Dari Surakarta (Solo)

Walaupun tidak banyak bis langsung dari Solo ke Wonosobo namun ada beberapa perusahaan bis yang melayani trayek ini. Anda dapat mendapatkan bis tersebut di terminal Tirtonadi jurusan Solo-Purwokerto via Wonosobo. Jaraknya sekitar 180 km waktu tempuhnya kita-kira 6 jam. Jalurnya adalah :

(Solo-Kartasura) - (Boyolali-Ampel) - (Salatiga-Bawen- Ambarawa) - (Secang-Temanggung-Parakan) - (Kertek-Wonosobo)

Dari Magelang

Jalur dari Magelang ini merupapakan jalur ke Wonosobo yang ramai. Kira-kira sepuluh menit sekali ada bis yang datang dan pergi. Bis terakhir kira-kira jam 19.00 berangkat dari terminal antar kota Magelang. Jaraknya sekitar 65 km dengan waktu tempuh kira-kira 2 jam. Jalurnya adalah :

(Magelang-Secang) - (Temanggung-Parakan) - (Kertek-Wonosobo)

Disamping itu, ada rute alternatif ke Wonosobo dari Magelang ini, terutama untuk mempersingkat jalan dari Borobudur-Wonosobo. Ada trayek micro bis langsung dari Magelang ke Wonosobo namun tidak sampai di kota Wonosobo, melainkan hanya sampai di Sapuran, salah satu Kecamatan di Wonosobo. Dari Sapuran ke Wonosobo jaraknya 18 km dan banyak sekali angkutan yang siap melayani anda. Jalur Borobudur-Wonosobo ini sering dijadikan alternatif travel Borobudur - Wonosobo.

Dari Purworejo

Jalur dari purworejo tidak terlalu ramai, baik ramainya kendaraan maupun pemukiman. Jalannya cukup baik namun berbelak-belok cukup tajam dan menanjak. Tidak ada bis besar yang melayani trayek ini, tetapi banyak micro bis yang beroperasi. Sejak terminal Purworejo pindah ke terminal baru, bis jurusan Wonosobo tidak masuk di terminal antar kota Purworejo. Micro bis jurusan Wonosobo biasanya mangkal di terminal lama atau di Purworejo Plaza. Jika anda dari arah Yogyakarta, silahkan turun di pertigaan Don Bosko, naik angkota dan turun di terminal lama atau di komplek Purworejo Plaza. Jarak Purworejo-Wonosobo sekitar 50 km dan waktu tempuh sekitar 2 jam. Jalurnya adalah :

(Purworejo-Loano) - (Kepil-Sapuran-Kalikajar-Kertek-Wonosobo)

Jika anda naik kendaraan pribadi, harap hati-hati sebab jalur ini walaupun agak sempit, banyak truk yang biasanya mengangkut kayu.

Dari Yogyakarta

Tidak ada trayek langsung dari Yogyakarta ke Wonosobo. Namun karena jalur Yogyakarta - Magelang - Semarang sangat ramai, dengan sendirinya dari Yogyakarta ke Wonosobo menjadi sangat mudah. Dari terminal Umbulharjo, atau dari terminal Jombor, naik bis jurusan Magelang dan turun di terminal antar kota Magelang, baru ke Wonosobo. Total jarak sekitar 120 km dan waktu tempuh kira-kira 3.5 jam. Jalurnya adalah :

(Yogyakarta-Sleman-Tempel) - (Muntilan-Magelang)

Selanjutnya ikuti jalur dari Magelang.

Dari Yogyakarta ke Wonosobo, disamping lewat Magelang, anda juga dapat lewat jalur Purworejo. Dari Terminal Umbulharjo atau Nggamping, naik bis jurusan Purworejo dan baru melanjutkan ke Wonosobo. Total jarak sekitar 120 km dengan waktu tempuh sekitar 3.5 jam. Rutenya adalah :

(Yogyakarta-Sentolo-Wates) - (Purworejo). Selanjutnya ikuti jalur dari Purworejo


Dari Purwokerto

Merupakan jalur yang ramai. Ada banyak bis yang melayani trayek ini. Untuk jalur ini, kira-kira setiap sepuluh menit ada bis yang datang dan pergi. Ada bis yang hanya melayani trayek Purwokerto-Wonosobo dan ada trayek Purwokerto-Semarang lewat Wonosobo. Anda bisa mendapatkan bis jurusan Wonosobo di terminal utama Purwokerto. Jaraknya sekitar 120 km dan waktu tempuh sekitar 3 jam. Jalurnya sebagai berikut:

(Purwokerto-Sokaraja) - (Purbalingga-Bukateja) - (Klampok-Banjarnegara) - (Selomerto-Wonosobo)

Dari Kebumen Meskipun masih langka, sebenarnya ada jalur langsung Wonosobo-Kebumen. Jalurnya berbelok-belok dan naik turun. Anda dapat mendapatkan bis jurusan Wonosobo-Kebumen di terminal antar kota Wonosobo namun hanya beberapa buah saja. Jaraknya sekitar 65 km dengan waktu tempuh sekitar 2.5 jam. Jalurnya sebagai berikut :

(Kebumen) - (Wadaslintang-Kaliwiro-Selomerto-Wonosobo)

Dari Jabodetabek

Trayek Jabotabek Wonosobo dilayani oleh banyak armada yang terdiri dari berbagai perusahaan oto bis. Anda bisa mendapatkan bis tersebut di terminal: Pl Gadung, Kp Rambutan, Bekasi, Lebak Bulus, Cimone, Merak dan Bogor. Dengan jarak 520 km, dari sekitar wilayah Jakarta, bis biasanya berangkat sekitar pukul 17 wib dan sampai di Wonosobo menjelang fajar.


Kisah Asal Mula Nama Pisang Klutuk

Di suatu kampung hiduplah sebatang pohon pisang yang sangat istimewa. Daunnya tebal, teksturnya halus dan tidak mudah robek sehingga paling cocok dipakai sebagai pembungkus. Menginjak masa berbuah, jantung (begitu penduduk menamai bunga yang tumbuh di ujung tandan buahnya) sangat digemari karena rasanya paling enak. Dipanen muda, buahnya disukai orang untuk rujakan. Ditunggu sampai masak, penduduk berebut dengan Codot untuk menikmati buahnya yang sangat legit, rasanya sangat manis, dan baunya harum. Tidak heran jika ada sebagian penduduk yang memanfaatkannya sebagai bahan untuk membuat anggur.

Peribahasa habis manis sepah dibuang sama sekali tidak berlaku padanya. Karena begitu buahnya diambil, debok (plural: gedebok), lembaran-lembaran batang pohonnya dikelupas penduduk kemudian dikeringkan untuk dimanfaatkan sebagai tali. Tali dari batang pisang jenis ini dikenal yang paling kuat dibandingkan jenis pohon pisang lainnya. Hati dari batang pohon ini yang terbungkus rapi oleh debok juga dimanfaatkan sebagian penduduk untuk dimasak. Rasanya mak nyus. Belum lagi jika kita berbicara mengenai kandungan gizinya dan khasiatnya sebagai tanaman obat. Sungguh istimewa pohon pisang yang satu ini. Keistimewaannya sudah diakui oleh pohon-pohon pisang jenis lainnya. The best in class, top markotop.

Dari rasa bangga, keistimewaan ini berujung pada kesombongan. Sebagai efek sampingnya muncul rasa merendahkan martabat pohon pisang jenis lainnya. Tetapi apa mau dikata, pohon pisang jenis lain tidak bisa berbuat apa-apa selain dongkol dan mengutuk dalam hati, semoga nanti kena batunya!

Merasa tidak ada lawan, dia melakukan ekspansi dengan mencibir pohon lain. Target utamanya adalah pohon randu yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Pohon randu ini sudah cukup tua, batangnya kira-kira satu dekapan laki-laki dewasa.

Mulailah dia ngenyek (mencibir) seenaknya.

Pisang: “Badan segede gitu, masak daunnya kecil-kecil. Udah gitu, ndak bisa dipakai apa-apa. Rontok, berguguran jadi larahan, sampah yang mengotori lingkungan”.

Randu: ”Siapa bilang mengotori, daunku bisa jadi kompos yang menyuburkan tanah tempat kita berpijak”.

Pisang: ”Hanya penduduk yang kurang kerjaan yang mengambil daunmu untuk kompos. Dunia kan tidak selebar daun kelor randu,” katanya meledek. memplesetkan peribahasa Dunia tidak selebar daun kelor secara asal.

Randu: ” Oke, daunku memang tidak sebermanfaat daunmu tapi lihatlah putihnya kapuk yang terurai dari buahku. Tidakkah kau lihat kampung ini jadi romantis oleh ’salju’ di tengah sepoi-sepoi angin dan teriknya matahari tropis? Mana ada musim salju di kampung ini kalau bukan dari terburainya kapukku diterbangkan angin?”

Pisang: ” Iya, mana ada musim salju berbintik-bintik hitam. Salju berkelir klenteng (red. nama biji randu, dibaca dengan ‘e’ pepet/lemah) namanya, hehehe… ”

Randu: ” Jangan salah. Kapukku sangat disukai orang untuk membuat kasur, bantal dan guling. Kapukku di udara membuat suasana romatis, apalagi sewaktu dibuat kasur, bantal dan guling ”

Pisang: ” Romantis pigimana? Mas kok ada yang ngganjel apa nih. Oh, banyak klenteng rupanya di kasur kita. Udah gitu, kok bagian yang paling sering ditiduri/diduduki jadi legok?” Makanya, penduduk lebih seneng makai kapas dan bulu angsa, begitu kesimpulan Pisang mengakhiri cibirannya sambil terus tertawa terpingkal-pingkal (kemplekeren).

Randu: ” Dasar, kelewatan. Aku sumpahin deh, biji-biji segede klentengku menghiasi buahmu. Biar tahu rasa.”

Sumpah serapah Randu ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Mendengar dan kun fayakun, sejak saat itu penduduk terkaget-kaget ketika makan buah pisang tersebut. Kaget karena tidak menyangka terdengar bunyi kelutuk ketika mengunyah buahnya. Berhentilah mereka memakannya dan dengan penuh penasaran mengambilnya dari mulut, apa gerangan sumber bunyi kelutuk tadi. Ternyata oh ternyata, sumber bunyi itu berasal dari biji berbentuk bulat berwarna hitam segede biji klenteng. Maka mengumpatlah orang tersebut, “Sialan, pisang kelutuk!”

Pohon pisang lain yang mendengar sumpah serapah penduduk tersebut tanpa dikomando menjadikannya bahan gosip ke pohon-pohon lain di kampung itu. ”Pohon pisang sombong itu kena batunya!”.

Begitulah, akhirnya pohon pisang yang sombong tersebut dikenal dengan nama Pisang Kelutuk atau Pisang Batu.